Cerita Sahabat Umar Bin Khattab RA dan Luasnya Ampunan Allah Taala

IBADAH PUASA di bulan Ramadan mulai diwajibkan kepada kaum muslimin pada tahun ke 2 Hijriah. Saat itu, para sahabat menjalankan ibadah puasa menahan diri dari lapar sepanjang siang. Bahkan, mereka juga harus melawan godaan hawa nafsu sejak siang hingga malam hari.

Namun, di tengah perjalanan, sejumlah Sahabat Nabi mengeluhkan beratnya tantangan untuk melaksanakan ibadah ini. Beberapa di antaranya pun terpaksa melanggar aturan. Sampai-sampai pada akhirnya mereka semua mendapat ridho di sisi Allah Ta’ala.

“Tapi, ada hikmahnya. Bahwa di bulan ini Allah Taala mengabulkan hajat hambanya, serta memaafkan segala dosa,” ujar KH Abdul Wahab dalam suatu ceramahnya.

Ia menjelaskan, semula ibadah puasa melawan hawa nafsu wajib dilakukan pada siang dan malam hari. Ada satu kisah, dari salah seorang Sahabat Nabi yang bernama Umar Bin Khattab Rodiyallahu Anhu, sahabat yang di kemudian hari menjadi Khalifah setelah Abu Bakar Siddiq RA.

Suatu ketika, Umar Bin Khattab RA pulang ke rumah pada malam hari. Lalu, ia mendapati istrinya telah tidur dan dalam keadaan yang cantik. Alhasil, Sahabat Nabi ini pun menyalurkan syahwatnya dengan hubungan suami istri.

Setelah itu, Sahabat Umar pun menyesali perbuatannya, sebab hukum berhubungan haram dilakukan baik siang maupun malam selama bulan Ramadan. “Itu adalah pelanggaran atau dosa yang berat,” kata Gus Wahab.

Persoalan ini pun akhirnya diadukan Sahabat Umar kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam (SAW). Ia meminta agar dirinya diberikan ampunan Allah SWT. Umar pun meminta sembari menangis.

“Ya Umar, engkau ini pimpinannya para Sahabat. Engkau ini orang yang terdekat aku, tapi mengapa engkau melanggar,” tanya Rasulullah kepada Umar. Setelah menegurnya, Nabi pun segera berdoa kepada Allah Taala untuk memintakan ampunan pelanggaran yang telah dilakukan Sahabat Umar.

Tapi, tak lama berselang turunlah Firman Allah Taala Surat Al Baqarah Ayat 187. Yang sebagian artinya, “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu.”

Sejak saat itu, tidak ada lagi pelarangan makan dan hubungan suami istri di malam-malam bulan Ramadan sampai datang waktunya imsak. Gus Wahab bilang, kisah ini menggambarkan betapa luasnya ampunan Allah Taala kepada hambanya.

Wallahu A’lam

Tulisan ini pernah diterbitkan di Portal Gerbang Jakarta pada Ramadan 1442 H dan dipublikasikan ulang dengan beberapa penyempurnaan.

Tentang Zakat Fitrah, Wajib Hukumnya Kalau Punya Ketiga Syarat

IBADAH puasa di bulan suci Ramadhan sangat berkaitan dengan pelaksanaan zakat fitrah. Kurang lengkap manakala telah menjalankan puasa sebulan penuh namun luput dari kewajiban menunaikan zakat.

Bahkan, dalam sebuah riwayat dikatakan amal puasa Ramadhan menjadi terkatung-katung alias belum bisa terangkat manakala seseorang belum mengeluarkan zakat fitrah. Dalam hadist yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah, Rosulullah Shollallahualaihi Wasallam bersabda, “Zakat Fitrah merupakan penyucian bagi orang yang berpuasa dari kekurangannya, dan makanan bagi orang faqir dan miskin.”

Oleh sebab itu, kaum muslimin khususnya para kepala/penanggung jawab keluarga perlu memahami tata cara pelaksanaan kewajiban zakat ini. Mulai dari syarat, waktu, hingga tempat penyaluran zakat berbentuk makanan pokok ini.

1. Pemeluk Agama Islam

Ada tiga hal yang menjadi syarat seseorang terkena kewajiban zakat fitrah. Habib Ahmad Bin Novel Bin Salim Bin Jindan bilang, jika salah satu dari tiga syarat ini tak dimiliki oleh seorang muslim, maka orang tersebut terlepas akan terlepas dari kewajiban membayar zakat.

Syarat pertama, beragama islam. Setiap insan yang memeluk agama Islam akan terkena kewajiban zakat fitrah. Muda tua, sehat maupun sakit, berakal ataupun sedang mengalami gangguan jiwa, serta bayi yang baru lahir sekalipun kalau dalam keadaan beragama Islam maka wajib menunaikan zakat fitrah.

2. Berjumlah dengan akhir Ramadan

Syarat yang kedua berkaitan dengan ketentuan waktu. Lebih jelasnya, seseorang harus menjumpai akhir Ramadhan sekaligus awal bulan Syawal.
Lebih detailnya, orang yang menyaksikan atau masih dalam keadaan bernyawa pada saat terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan berkewajiban menunaikan zakat fitrah.

“Kalau orang menjumpai Ramadhan, tapi tak menjumpai Syawal maka tak wajib zakat. Begitu juga jika hanya menjumpai Syawal maka tak wajib juga zakat fitrah,” kata Habib Ahmad dalam Dauroh Fiqih Zakat Fitrah sesua Madzhab Al Imam Asy Syafi’i di Yayasan Al Fachriah.

Sebagai contoh, tidaklah wajib hukumnya zakat fitrah bagi seseorang yang meninggal dunia pada pertengahan Ramadhan, hal ini lantaran dia tidak menemui bulan Syawal. Tidak wajib pula zakat fitrah untuk bayi yang lahir saat malam takbiran, sebab manusia mungil ini hanya menemui bulan Syawal dan tak mendapati bulan Ramadhan.

3. Mampu Membayar Zakat

Syarat yang terakhir yaitu berlaku untuk seseorang yang berkeadaan mampu. Rinciannya, ia memiliki kelebihan harta dalam bentuk makanan pokok, tempat tinggal meskipun sewa, atau pakaian.

Habib Ahmad bilang, keadaan mampu ini harus terjadi pada waktu akhir Ramadhan atau Syawal. “Misalnya, ada orang yang sama sekali tidak punya makanan pokok. Tapi, di dalam tasnya ada sepuluh handphone IPhone terbaru, maka dia wajib menjualnya untuk bisa membeli makanan pokok dan mengeluarkan zakat fitrah,” jelas Habib Ahmad.

Apabila syarat-syarat ini telah terpenuhi, maka orang tersebut dan orang-orang yang menjadi tanggungannya wajib untuk mengeluarkan zakat fitrah. Yakni, berupa makanan pokok sebanyak satu sha’ atau empat mud atawa setara 3,5 liter kepada orang-orang yang berhak.

Wallahu A’lam

-Artikel ini pernah diterbitkan pada blog Cintamuslim dan diterbitkan kembali di Yazid.ID dengan beberapa pengeditan.

Tips Mencari Ulama yang Baik dari Habib Jindan

SUNGGUH berat tugas seorang ulama agar dapat mengajak umat kepada kebaikan dan surganya Allah Subhanahu wa Taala (SWT). Para ulama merupakan pewaris para nabi, bahkan ulama umat ini punya tugas seperti yang dilakukan nabi-nabi Bani Israil.

Yakni, sebagai pembawa amanat agar orang-orang menuju Allah Taala, sekaligus menjadi penyambung lidah Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Bukan penyambung lidahnya para sponsor atau elit tertentu.

Seorang alim ketika berkumpul dengan orang awam maka yang akan dibicarajan itu ilmunya Rasulullah SAW, bahas ibadah, pahala, ataupun hal baik lain dengan bahasa yang mudah dicerna. Bukan membicarakan politik, atau hal lain yang menjauhkan kepada Allah Taala.

“Dalam sebuah syair dikatakan, orang kalau dengan melihat tidak memetik manfaat, jangan harap kata-katanya akan bermanfaat.,” kata Habib Jindan Bin Novel Bin Jindan dalam suatu pengajian di Al Fachriyah, Tangerang.

Memandang orang yang alim akan memberikan manfaat, bahkan sudah terlihat dan menyiatkan akhal yang mulia. Hal ini juga telah tergambar sebagaimana, kisah Nabi Yusuf, atau juga kisah Abdullah Bin Salam Radiyallahu Anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.

Abdulllah Bin Salam RA ketika pertama kami memandang wajah Rasulullah SAW langsung menyatakan dan yakin bahwa nabi bukanlah wajah seorang pendusta.

Wajah Nabi SAW bukan wajah pencaci, bukan juga pengadu domba. Sungguh beruntung orang-orang yang melihat wajahnya.

Begitu juga orang-orang yang melihat wajah para sahabat Rodiyallahu Anhum, melihat para tabi’in, dan seterusnya. Begitu juga kita yang berkesempatan melihat wajah para ulama, para wali yang kalau dipandang mengingatkan kepada Allah Taala.

Tapi, kita juga perlu berhati-hati lantaran ada orang yang kalau dipandang mengingatkan kepada dunia, pada partai politik, pada hal-hal yang menjaukan kita pada Nabi Muhammad SAW.

Pandanglah guru-guru yang mengingatkan kita kepada Nabi Shollalllahu Alaihi Wasallam, ingat kaum sholihin, ingat akhirat, atau ingat kalimat Lailahaillah.

“Dekat dengan mereka akan membawa hati merasa khusuk, bulu kuduk merinding, cahaya hatinya seakan memancar di wajahnya. Alhamdulillah, kita dikenalkan Allah Taala, kepada para sholihin, para hahabib, Habib Muhammad bin Abdullah Al Haddar, sayyid Muhammad Bin alwi Al Maliki, dan lainnya,” kata Habib Jindan.

Mereka para wali-wali Allah tersebut, tak pernah meninggalkan sholat jamaah, tak pernah luput qiyamullail, tak pernah kelihatan berbuat yang makruh.

Yang paling penting juga, jalan menuju Allah Taala itu sebanyak tarikan nafas manusia. Lewat mana saja boleh, tidak ada yg mewajibkan harus lewat mana.

Kita tidak tahu matinya nanti masuk surga atau tidak. Kita tidak tahu mati husnul khotima ata suul khotimah. “Husnudzon boleh, tapi jangan dekat-dekat ulama yang tidak mengingatkan kita pada Allah Taala,” nasihat Habib Jindan.

Wallahu A’lam

Dua Lubang yang Mendorong ke Neraka dan Dua Hal Lain Menuju Surga

RASULULLAH Shollallahilualihi Wasallam memberikan pelajaran kepada para sahabat untuk berhati-hati pada dua hal yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan dosa. Bahkan dua hal ini dapat mendorong pelakunya ke dalam siksa api neraka. Naudzubillah

Bersamaan dengan itu, Nabi yang agung memberikan pelajaran kepada Imam Abu Hurairoh dan para sahabatnya, Rodiyallahu anhum, agar meraih dua hal yang paling banyak dimiliki oleh penghuni surga. Hindari dua hal, dan raihlah dua hal lainnya.

Peringatan dan pembelajaran dari manusia mulia ini terdapat dapat hadist Adabul Mufrod hadist ke 289 yang dirangkum Imam Bukhori. Kitab ini dibahas rutin di Majelis JIM Basmol saban Senin Malam.

“Neraka banyak penghuninya karena Al Ajwafaani yang artinya dua lubang,” kata Ustadz Hawasyi Isa LC dalam pengajian di Majelis JIM Basmol Jakarta Barat, Ahad malam 1 Shafar 1441 H atau bertepatan 29 September 2019 silam.

1. Menjaga Lubang Kemaluan

Dua hal yang membawa kepada kesengsaraan yakni, pertama, lubang kemaluan atau yang disebut Al Farju. Menurut Ustadz Hawasyi, banyak umat Islam yang terjerembab ke lembah dosa lantaran godaan wanita.

Sekarang ini, di era digital perzinaan sudah merajalela. Sehingga, kita perlu menjaga diri agar tidak terjerumus, karena Allah Taala juga sudah melarang umat Islam untuk mendekati zina.

2. Lubang Mulut

Kedua, lubang mulut. Dosa atau kejahatan yang dilakukan mulut yang kerap dilakukan umat antara lain ghibah dan namimah. Parahnya dosa seperti dianggap lumrah, padahal termasuk dosa besar.

“Ada kisah Nabi Musa Alaihissalam yang berdoa meminta hujan, dan doa tersebut belum dikabulkan Allah Subhanahu Wataala karena ada sebagian di antara umatnya yang sering namimah,” ujar Ustadz Hawasyi.

Semoga Allah Subhanahu Wataala menjaga kita dan keluarga kita dari kejahatan-kejahatan yang bersumber dari kedua lubang, yakni lubang kemaluan dan lubang mulut.

Dua Hal Menuju Kebaikan

Kemudian, terdapat juga dua hal yang apabila dijalani akan membawa kebaikan dunia dan akhirat. Kedua keadaan tersebut masing-masing yaitu takwa dan akhlak yang baik.

Setiap khutbah Jumat, nasihat akan takwa ini selalu diulang-ulang oleh sang khotib. Bertakwalah kalian kepada Allah Taala, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam,” mungkin seperti ini pesan para khotib dalam wasiat khutbahnya.

Menurut Ustadz Hawasyi, pada suatu hadist lain yang juga ditulis di kitab Adabul Mufrod terdapat doa yang agar kita dikaruniakan akhlak yang bagus. Doa tersebut kerap dilantukan oleh Imam Abu Darda Rodiyallahu Anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.

Beliau melazimkan doa tersebut setiap qiyamullail atau di rangkaian Sholat Tahajud. Doa tersebut yaitu, Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan penciptaan pada ragaku, maka baguskanlah juga akhlakku, hingga pagi hari.

Wallahu A’lam.